Senin, 22 Oktober 2012


Begitu banyak hati seorang manusia tersakiti
Begitu banyak hati seorang manusia mencucurkan air mata
Ketika kepedihan datang melanda…..
Begitu banyak penderitaan orang miskin, terlunta-lunta
mengharap keadilan kaum di atas sana yang semakin berkuasa
Begitu banyak pengamen-pengamen jalanan
begitu banyak manusia yang menegadahkan tangannya
hanya demi sesuap nasi dan belas kasih dari orang yang berada
Begitu banyak kaum hawa yang rela menjual harga dirinya
Rela meninggalkan kemuslimahannya hanya demi kehidupan semata
Begitu banyak penguasa yang semakin berkuasa
Sibuk dengan urusan frofan ke duniaan
Lupa akan kehidupan rakyat kecil yang semakin terinjak-injak
Semakin tertindas dan semakin tersingkirkan
Begitu banyak generasi-generasi muda yang terjebak
Dalam lingkaran hitam
Ketergantungan obat-obatan terlarang
pondasi-pondasi sakral semakin terpuruk
Wahai penguasa…..?
Bimbinglah kami lihatlah kami tundukkanlah kekuasaanmu
Jangan kau sudutkan kami jangan buat kami terinjak-injak
Hati kami jiwa kami raga dan jasad kami
Jangan kau buat kami sempit karena kekuasaanmu dan ke egoisanmu
Kami hanya manusia biasa, menyuarakan kepedihan kami atas keegoisanmu
Wahai pengusasa mungkin kau sempurna
atas jabatanmu, atas kekuasaanmu dan keduniaanmu
Namun di atas sana ada yang lebih sempurna darimu
Allah semata





Wahai penguasa,
Aku protes!
Aku rakyat kecil yang sehari-hari bergumul keras untuk hidup.
Tapi engkau begitu nyaman duduk santai di singgasanamu.
Padahal dari keringatkulah engkau hidup.
Padahal dari airmataku engkau bahagia.
Padahal aku dan engkau sama.
Kita ciptaan Tuhan.
Kita warga negara Indonesia.
Kita hidup di bawah kolong yang sama.
Tapi hanya itu kesamaan di antara kita.
Gajimu tinggi menjulang ke langit,
Sedangkan remah-remah uangmu pun masih sesuatu yang mengawang-awang.
Engkau berkeluh kesah mengenai gajimu yang 7 tahun tak pernah naik.
Sedang aku seumur hidupku bahkan tak pernah keluar dari rantai kemiskinan bedebah ini.
Engkau bicara soal Indonesia yang makmur.
Ah, omong kosong!!!
Perut anak-anakku pun detik ini masih tak terisi, padahal mereka harus bertumbuh dewasa.
Penguasa yang kucoblos ketika PEMILU,
Hatiku pilu, sungguh.
Pernahkah engkau tak punya uang sepeser pun untuk membeli obat buat anakmu yang sakit nyaris mati?
Pernahkah engkau tinggal berdesak-desakan di rumah kardus dengan istri, dan anak-anakmu?
Pernahkan engkau hanya bisa menangis karena tak sepeser rupiah pun engkau bawa untuk nasi keluargamu?

Aku yakin kau tak pernah berada di sana,
Hidup menderita bagai dalam neraka.
Jika sorga memang ada, mengapa Tuhan tak mengetuk hatimu untuk berbelas kasihan kepada orang sepertiku.
Jika memang cintamu pada rakyat sebesar ucapan retorikamu,
Mengapa hidupku sama saja seperti sebelum engkau naik tahta?
Jika engkau pemimpin, maka pimpinlah aku yang miskin ini kepada kegenapan janji-janjimu.
Ah tapi engkau pasti tak peduli,
Bahkan ketika aku dan seisi rumahku harus mati dalam tangis yang merana.